Secuil Problematika Khilafah Islamiyah

Para tokoh Islam baik yang pro ataupun kontra terhadap sistem khilafah bukanlah penderita amnesia sejarah. Perbedaan antara kedua belah pihak bisa dikerucutkan pada pengambilan pelajaran dari sejarah (‘ibrah) dan realitas umat Islam saat ini. Pihak yang pro-sistem khilafah terkesan acuh terhadap sejarah kelam khilafah Islam seraya mengkultuskan sistem ini tanpa otokritik. Mereka hanya bermain-main pada dataran retorika belaka dengan menyebut-nyebut kegemilangan umat Islam saat berada di bawah sistem khilafah, tetapi lupa atau seakan-akan sengaja melupakan realitas sebenarnya sehingga mengaburkan fakta sejarah yang membuat para pengikut mereka terlena karenanya. Pada gilirannya mereka tidak menyadari bahwa realitas umat Islam saat ini belum siap menerima sistem khilafah.

Sementara itu, pihak yang kontra-sistem khilafah peka terhadap realitas umat Islam yang kini lebih cocok dengan bentuk pemerintahan nation-state. Menurut mereka, bila nation-state yang kini sudah mulai mapan diganti dengan sistem khilafah, maka itu hanya akan memperkeruh keadaan; umat Islam akan semakin bercerai-berai yang berpotensi pada pertumpahan darah. Mereka lebih mengutamakan maslahat umat Islam dengan mengambil kemungkinan terbaik dari dua kemungkinan buruk. Selain itu, mereka menjadikan sejarah kelam sistem khilafah sebagai pelajaran berharga agar tidak terulang kembali. Seorang muslim yang baik adalah orang yang tidak akan mengulangi lagi kesalahannya untuk yang kedua kalinya. Kita tidak memungkiri dari sebagian pihak yang kontra-sistem khilafah ada yang sangat anti terhadap sistem ini tanpa mau melirik sisi-sisi positifnya seraya lebih mengagungkan sistem sekuler tanpa mau mencermati kebobrokannya. Padahal dalam sejarahnya tidak ada satu pun sistem pemerintahan di dunia ini yang sempurna, tidak terkecuali sistem khilafah.

Sejarah mencatat hanya khalifah pertama Abū Bakr al-Ṣiddīq yang wafat dengan tenang, sementara tiga khalifah setelahnya ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb, ‘Uthmān ibn ‘Affān, dan ‘Alī ibn Abū Ṭālib mati terbunuh pada saat memangku tampuk kekhilafahan. Mayoritas umat Islam meyakini hanya lima orang yang berhak dianggap sebagai khalifah Islam yang sebenarnya, yaitu empat khalifah pertama dan khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azīz, sementara para khalifah yang lain tidak lepas dari bagian catatan-catatan hitam sejarah Islam. Padahal masa kekhilafahan lima khalifah tersebut tidak lepas sepenuhnya dari konflik internal umat Islam yang menyuburkan benih-benih kekacauan di tengah-tengah umat Islam (fitnah), apalagi pada masa sebagian para khalifah otoriter yang memaksakan kebijakan politik terhadap umat Islam bahkan menghalalkan darah sesama muslim atas nama khilafah.

Sebagian besar khalifah dinasti Umawiyah dan ‘Abbasiyah adalah khalifah-khalifah otoriter. Pada dinasti Umawiyah, misalnya, Sulaymān Fayyāḍ menyebut nama-nama berikut ini sebagai khalifah-khalifah otoriter: Mu’āwiyah ibn Abū Sufyān, Yazīd ibn Mu’āwiyah I, Mu’āwiyah II, Marwān ibn al-Ḥakam, ‘Abd al-Malik ibn Marwān, al-Walīd ibn ‘Abd al-Malik, Sulaymān ibn ‘Abd al-Malik, ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azīz, Yazīd ibn ‘Abd al-Malik, Hishām ibn ‘Abd al-Malik, al-Walīd ibn Yazīd ibn ‘Abd al-Malik, Yazīd ibn al-Walīd, Ibrāhīm ibn al-Walīd, dan Marwān ibn al-Ḥakam. Sementara itu, pada dinasti ‘Abbasiyah yaitu Abū al-‘Abbās al-Saffāh, Abū Ja’far al-Manṣūr, al-Mahdī, al-Hādī, Hārūn al-Rashīd, al-`Amīn, al-Ma`mūn, al-Mu’taṣim, al-Wāthiq, al-Mutawakkil, al-Muntaṣir, al-Musta’īn, al-Mu’taz, al-Muhtadī, al-Mu’tamid, al-Mu’taḍid, al-Muktafī, al-Muqtadir, al-Qāhir, al-Rāḍī, al-Muttaqī, dan al-Mustakfī.

Inilah fakta sejarah yang mengindikasikan adanya kesenjangan luar biasa besar antara Islam Normatif dan Islam Historis. Kelompok yang pro-khilafah boleh saja berkelit bahwa para khalifah tersebut jauh dari doktrin Islam sehingga tidak sah dijadikan argumentasi untuk menolak sistem khilafah karena menurut mereka selain Islam menetang praktik-praktik salah para khalifah tersebut, Islam juga mewajibkan penegakan sistem khilafah sebagai satu-satunya sistem pemerintahan yang sah bagi umat Islam. Bahkan mereka membolehkan pemberontakan dan pengambilalihan kekuasaan dengan paksa terhadap suatu pemerintahan yang tidak sejalan dengan sistem khilafah Islam sehingga tidak heran bila kelompok ini tidak diakui di Saudi Arabia dan Baghladesh, padahal Saudi Arabia merupakan salah satu jantung peradaban Islam.

Ada beberapa poin untuk menyanggah argumentasi mereka. Pertama, persoalan sistem khilafah masih debateable atau khilāfiyah di antara para sarjana Islam. Sebagian sarjana memandang bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan tertentu, tetapi Islam menyerahkan sepenuhnya kepada umat Islam untuk menentukan sendiri sistem pemerintahan yang mereka kehendaki asalkan nilai-nilai Islam tetap dilestarikan. Sebagai bukti, Rasulullah Saw. tidak menunjuk langsung pengganti atau khalifah setelah beliau wafat. Kalau memang Islam mewajibkan sistem khalifah sebagaimana sebagian kelompok Islam meyakininya, maka wajib bagi Rasulullah Saw. untuk menunjuk pengganti beliau atau menentukan metode pemilihan khalifah dan sistem pemerintahan tertentu, karena kalau tidak beliau berdosa karena meninggalkan sebuah kewajiban agama, dan ini mustahil.

Kedua, tidak adanya metode baku pemilihan khalifah yang diterapkan sepanjang sejarah kekhilafahan Islam sejak kekhilafahan Abū Bakr al-Ṣiddīq hingga kekhilafahan terakhir Turki Uthmani. Abū Bakr al-Ṣiddīq diangkat sebagai khalifah dengan cara musyawarah, ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb dengan penunjukan langsung dari Abū Bakr al-Ṣiddīq, ‘Uthmān ibn ‘Affān dan ‘Alī ibn Abū Ṭālib dengan musyawarah, dan para khalifah setelahnya dengan metode warisan kekuasaan bahkan dengan perebutan kekuasaan dengan kudeta berdarah. Fakta ini menunjukkan tidak adanya aturan baku pemilihan khalifah yang mengisyaratkan bahwa Islam menyerahkan sepenuhnya kepada umat Islam untuk menentukan sendiri sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka. Kalau Islam tidak menentukan metode tertentu pemilihan khalifah yang merupakan persoalan utama sistem khilafah, apalagi peraturan-peraturan lainnya.

Ketiga, bila sistem khilafah merupakan sistem pemerintahan terbaik, maka sudah pasti akan tetap bertahan, menghasilkan pemerintahan yang bersih, dan umat Islam akan hidup dengan aman dan sejahtera di bawah sistem khilafah. Tidak mungkin sebuah sistem yang baik apalagi yang terbaik akan mudah digoyah lalu runtuh, menghasilkan pemerintahan yang sewenang-wenang, dan rakyatnya hidup ketakutan di bawah tekanan politik dan menderita. Fakta sejarah justeru mencatat sebaliknya. Sistem khilafah yang diakui mayoritas umat Islam hanya bertahan empat masa kekhilafahan pertama dan setelah itu bukan sistem khilafah tetapi lebih tepat dikategorikan sebagai sistem kerajaan monarki hereditas.
Meskipun kita kategorikan sejak kekhilafahan Mu’āwiyah ibn Abū Sufyān hingga kekhilafahan terakhir Turki Uthmani sebagai wujud dari sistem khilafah, tetapi itu malah membuktikan bahwa sistem khilafah tidak mampu bertahan bahkan tumbang untuk yang terakhir kalinya pada tahun 1924 M. Keruntuhan khilafah dan peralihan dari suatu dinasti ke dinasti lainnya sebagian disebabkan oleh kesewenang-wenangan, otoriterianisme, kegermelapan hidup, dan kuatnya nafsu politik yang mengalahkan spiritualitas sebagian khalifah. Sebagai dampaknya sebagian umat Islam tidak bisa hidup tenang karena tekanan politik dan perang saudara yang sering terjadi. Beberapa fakta ini menggugurkan kleim sistem khilafah sebagai sistem pemerintahan terbaik.

Keempat, sistem khilafah mengandaikan bersatunya umat Islam di bawah kekuasaan seorang khilafah. Ini sangat mustahil dengan beberapa pertimbangan. Umat Islam yang kini terpecah-pecah dalam beberapa sekte baik sekte teologi atau sekte fikih mustahil akan sepakat terhadap sebuah konsep khilafah yang diyakini sebuah sekte, apalagi mengakui seorang khalifah yang mereka tawarkan. Bagaimanapun juga konsep khilafah berbeda antara satu sekte dengan sekte yang lain. Padahal ini baru pada lingkaran sekte-sekte Sunni saja dan belum mencakup Syiah yang mempunyai konsep pemerintahan yang sangat berbeda.
Alih-alih sekte-sekte tersebut mengakui keabsahan seorang khalifah dari sebuah sekte, sebuah konsep khilafah dari sebuah sekte saja bisa dipastikan ditolak mentah-mentah oleh sekte lain. Tidak ada jaminan sebuah sekte akan menerima konsep sistem khilafah sekte lain, apalagi persoalan khilafah bernuansa sangat politis yang dapat menguntungkan sebuah sekte serta merugikan sekte lain. Tindakan menguntungkan sebuah sekte meniscayakan tindakan merugikan sekte lain, padahal seluruh sekte tidak ingin dirugikan.

Kelima, umat Islam kini sudah mulai mapan dengan bentuk pemerintahan nation-state. Bila saat ini mereka dipaksa melebur dalam sistem khilafah, maka perselisihan di antara mereka lebih niscaya dari persatuan mereka. Dalam hal ini, seharusnya umat Islam meniru orang Eropa yang memperkuat bentuk nation-state terlebih dahulu kemudian membentuk Uni Eropa sebelum tergesa-gesa mendirikan khilafah. Ini lebih realistis. Kalau tidak, maka cita-cita mendirikan khilafah Islam tidak lebih dari mimpi belaka, apalagi dilihat dari beberapa aspek mayoritas umat Islam saat ini belum siap menerima sistem khilafah.

Mimpi memang bisa diwujudkan sebagai kenyataan, tetapi itu tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan, apalagi pendirian khilafah Islam termasuk mimpi besar. Sebelum mendirikan khilafah Islam, umat Islam harus melalui beberapa langkah: semakin memperkokoh bentuk nation-state, meminimalisir perselisihan di antara mereka dan mencari titik temunya dengan duduk bersama mendiskusikan konsep khilafah yang akan diterapkan, melepaskan fanatisme kelompok, menghindari nafsu politik yang berlebihan, dan selalu berusaha memahami realitas umat Islam saat ini dan memperjuangkannya terlepas dari perbedaan ‘bendera’ mereka. Bila langkah-langkah ini tidak ditempuh, maka cita-cita untuk mendirikan khilafah Islam sangat sulit diwujudkan bahkan absurd.

Kesalahan fatal kelompok yang memperjuangkan khilafah seperti Hizbut Tahrir (HT) adalah selain tidak melalui langkah-langkah tersebut, pemikiran dan sikap mereka juga terkesan eksklusif. Oleh karena itu, jangankan mendapatkan simpati kelompok lain untuk bersama-sama memperjuangkan khilafah, mereka malah menuai kecaman dari mana-mana. Mereka bukannya memersatukan umat Islam, tetapi malah membuat umat Islam semakin terpecah-belah. Anehnya, mereka juga sering terlibat dalam perselisihan ini. Mereka ibarat sekumpulan orang yang mendirikan sebuah kelompok yang bercita-cita memersatukan umat Islam, tetapi mereka tidak sadar bahwa kehadiran kelompok mereka justeru akan lebih memperkeruh ketegangan internal umat Islam. []

2 Responses to “Secuil Problematika Khilafah Islamiyah”


  1. 2 nolsatugr June 29, 2011 at 4:23 pm

    Untuk mengembalikan islam pada sistem pemerintahan khilafah butuh proses panjang dan harus dibangun dari bawah. Membangunnya tidak secepat runtuhnya.

    Yang menjadi pertanyaan penting siapa sosok khalifah setelah putusnya mata rantai khilafah terakhir? bagaimanakah metode pemilihannya? model suksesi khilafah2 yang paling baik adalah dengan jalan musyawarah. Yang musti kita sadari adalah kekuasaan memang benar2 harus dipegang oleh orang-orang yang amanah, banyak kaum munafik dalam islam yang juga tergiur akan kekuasaan, yang mereka bidik adalah celah dimana metode pemilhan khilafah yang tidak baku, dan juga menggoyang hampir semua khalifah2 besar dalam sejarah islam, mereka seperti duri dalam daging atau musuh dalam selimut, menciptakan ketidakstabilan politik, penjajahan ekonomi, dan pemberontakan dimana-mana. Mereka hadir dimana-mana, tak terkecuali pada setiap sistem pemerintahan yang ada dan pernah berjalan di muka bumi ini, hanya karena tergiur oleh kekuasaan dan harta.

    Mereka bersama-sama bergabung dengan musuh2 besar islam pun telah berhasil meruntuhkan kekhalifahan islam dan menerima konsep nation-state yang berhembus dari barat, mereka sadar bahwa mereka tidak bisa menang dengan peperangan, seperti dalam catatan sejarah emperium2 besar yang hancur dalam perang melawan pasukan muslim. Mereka kalah dalam perang maka dari itu dengan ideologi nation-state dan dengan konsep patriotiknya yg siap mati demi ideologi nation-statenya dan bukan di jalan Tuhannya. Dengan ideologi tersebut sebagai penanya, mereka membuat garis2 membagi-bagi islam itu sendiri di sisi luar, sementara di sisi dalamnya saja islam sudah terpecah-pecah akibat perbedaan fiqh dan orang-orang yang buta akibat tergiur dengan kekuasaan dan harta, kenapa ummat ini tidak menanggalkan ego masing-masing dan mendahulukan akhlaqnya di atas fiqhnya, demi persatuan ummat.

    Dampak yang kita rasakan sekarang, contohnya di palestina, semua negara islam bungkam melihat saudara seimannya terusir dari tanahnya, lalu muslim di mindanao, dan negara seiman tetangganya menutup dan mengunci pintunya rapat-rapat, seakan tidak terjadi apa-apa. Ummat Islam seakan tidak berkutik. Bagimu negaramu dan bagiku negaraku, walaupun kita seiman kita beda negara.

    Yang jelas ummat islam butuh pemimpin yang dapat menyatukan dan menegakan Hukum-hukum Nya, dan para ummat yang taat pada hukum-hukumnya dan bersedia dipimpin. Dengan sistem pemerintahan yang dirasa paling baik untuk menyatukan ummat. Akan kah sistem khilafah kah itu? atau kah sistem-sistem pemerintahan yang lainnya?? Wallahu’alam Bishowab…


Leave a comment




Blog Stats

  • 157,502 hits