Tafsir Kontekstual

Pendahuluan

Proses perwahyuan al-Qur`an sudah selesai sejak berabad-abad silam. Beriringan dengan berhentinya proses perwahyuan, al-Qur`an hanya teks “mati” sehingga tidak bisa berkembang lagi guna merespons perkembangan kehidupan manusia sebagaimana terjadi pada saat proses perwahyuan. Di sisi lain, perkembangan kehidupan manusia semakin berkembang, bahkan jauh lebih kompleks dibandingkan dengan pada saat proses perwahyuan. Tidak heran bila ada jargon terkenal yang mendeskripsikan fakta itu, yaitu al-nusūs mutanāhiyah wa al-waqā`i’ ghayr mutanāhiyah.

Sejatinya jargon tersebut bukan hanya merujuk pada al-Qur`an an sich, tetapi juga pada hadis. Hanya saja mayoritas umat Islam terlajur menganggap al-Qur`an sebagai sumber teks Islam paling utama. Oleh sebab itu, meski ayat-ayat al-Qur`an mustahil bertambah, tetapi penafsiran-penafsiran terhadapnya tetap berlangsung hingga saat ini dan perlu dikaji ulang serta dikembangkan agar fungsinya sebagai problem solver perkembangan kehidupan manusia tetap berjalan sebagaimana pada berlaku saat proses perwahyuan.

Sejak awal Islam hingga sekarang penafsiran beraneka ragam sesuai dengan kapasitas intelektual dan kecenderungan sang penafsir. Keanekaragaman penafsiran tidak hanya membuktikan fleksibelitas dan elastisitas kandungan al-Qur`an terhadap perkembangan kehidupan manusia, tetapi juga membuktikan adanya legitimasi keabsahan untuk menafsirkan al-Qur`an sesuai dengan keinginan masing-masing. Meskipun statemen ini kontras dengan keyakinan mayoritas kalangan Sunni, tetapi statemen tersebut justeru sesuai dengan fakta di lapangan.

Salah satu dari aneka ragam penafsiran itu adalah penafsiran kontekstual. Penasiran ini semakin hari semakin sering didiskusikan. Ia merupakan sebuah usaha untuk tidak mengkultuskan karya-karya penafsiran yang telah ada. Sebab dengan adanya penafsiran ini, karya-karya penafsiran yang telah ada sebelumnya hanya sebagai referensi yang bila kandungannya masih sesuai dengan tuntutan zaman, maka akan diambil dan dikembangkan, tetapi bila tidak, maka karya-karya itu hanya seperti tumpukan bundelan kertas yang hanya bisa menghiasi koleksi perpustakaan sebagai kekayaan khazanah keilmuan Islam.

Sebagian orang boleh saja menganggap statemen ini sangat provokatif seraya menuduhnya sebagai penghinaan terhadap karya-karya para sarjana Muslim, tetapi orang tersebut seharusnya sadar diri bahwa konsep al-Qur`an sangat jelas, yaitu apa pun yang berguna akan tetap bertahan dan bermanfaat bagi manusia dan apa pun yang tidak berguna akan hilang dengan sendirinya.

Dalam makalah ini, penulis akan membuktikan kebenaran statemen tersebut dengan pembahasan sekilas tentang tafsir kontekstual seraya menyajikan ciri-ciri, metode-metode, dan contoh-contohnya yang terdapat dalam literatur tafsir dan fikih. Data-data tersebut merupakan bahan acuan untuk mendeskripsikan tafsir kontekstual sebagaimana dipahami oleh sebagian sarjana Muslim, baik klasik maupun kontemporer, sebagai sebuah usaha mendinamiskan teks suci Islam dengan kehidupan nyata umat Islam lintas generasi.

Pembahasan

A. Karateristik Tafsir Kontekstual

Cikal-bakal tafsir kontekstual adalah ayat-ayat al-Qur`an yang memiliki asbāb al-nuzūl, terutama yang berkaitan dengan fenomena sosial pada saat itu. Sebab, sebagaimana biasanya, pemahaman ayat yang paling sempurna adalah dengan memperhatikan setting sosial yang melingkupi turunnya ayat. Ada kalanya setting sosial tersebut hanya berlaku pada masa tertentu, individu tertentu, dan di tempat tertentu, tetapi ada kalanya berlaku sepanjang masa, pada siapa saja, dan di mana saja. Sementara itu, ayat-ayat akidah tidak mengenal batas-batas tersebut. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila usia tafsir kontekstual setua ayat-ayat al-Qur`an yang memiliki asbāb al-nuzūl.

Asbāb al-nuzūl merupakan tonggak utama tafsir kontekstual. Sebab ia merupakan ilustrasi rekaman historis suatu peristiwa sosial kemasyarakatan yang melatarbelakangi dan mengiringi turunnya ayat. Sayangnya, hanya segelintir ayat saja yang memiliki asbāb al-nuzūl. Namun demikian, menurut Budhy munawar-Rachman, asbāb al-nuzūl hendaknya tidak dipandang sebagai penentu atau alasan yang tanpanya ayat tidak akan diturunkan. Dalam kenyataannya, tidak ada banyak teks mengenai satu peristiwa. Setidaknya dari asbāb al-nuzūl dapat diperoleh informasi tentang nilai-nilai sosial yang ada dan berkembang saat itu. Nilai-nilai sosial ini bisa berupa adat-istiadat, karakter masyarakat atau individu, relasinya dengan zaman sebelumnya; apakah sudah ada sebelumnya dan berkembang hingga masa itu atau hanya ada pada masa itu saja, dan perkembangannya setelah turunnya ayat; apakah menjadi lebih baik atau malah balik menantang seraya tidak menggubrisnya.

Pada tahap berikutnya, informasi itu dipilah-pilih dan dicocokkan dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang dihadapi para sarjana Muslim yang terlibat dalam penafsiran al-Qur`an, baik sarjana Muslim yang menuangkan penafsirannya dalam sebuah karya tafsir atau tidak. Pada tahap ini, informasi mengenai metode penafsiran, pendekatan serta pertimbangan, dan hasilnya bisa didapat. Lebih jauh lagi, informasi ini juga dipilah-pilih dan dicocokkan dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang ada saat ini seraya tetap mempertimbangkan konteks sosial kemasyarakatan pada saat turunnya ayat. Tahapan-tahapan ini identik dengan teori double movement gagasan Fazlur Rahman (1919-1998), sarjana Muslim ternama.

Anggapan bahwa Fazlur Rahman (1919-1998) adalah perintis pertama tafsir kontekstual adalah anggapan kurang tepat. Sebab tafsir kontekstual dalam pengertiannya yang sederhana, yaitu penafsiran yang senantiasa mengacu pada setting sosial saat wahyu turun dan saat penafsir menafsirkannya sudah ada sejak masa awal Islam. Bahkan Rasulullah saw. adalah sebagai penafsir pertama yang menerapkan penafsiran ini. Itu pun kalau disepakati bahwa semua perilaku beliau, baik perbuatan atau perkataan, yang berkaitan dengan al-Qur`an termasuk sebuah tafsir. Sebagai manusia terbaik yang dituntun wahyu, beliau sangat peka dan mengetahui karakter individu dan gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh sebab itu, beliau kadang memberi dua solusi berbeda untuk satu pertanyaan atau satu peristiwa tergantung kondisi penanya dan konteksnya.

B. Contoh-Contoh Tafsir Kontekstual

Berkaitan dengan penafsiran kontekstual Rasulullah saw., ada contoh yang bisa diungkap di sini. Al-Bukhārī (194-256 H) meriwayatkan dari ‘Abd Allāh ra.: “Kami ikut ambil bagian dalam perang-perang suci (jihad) bersama Rasulullah saw. dan kami tidak membawa istri-istri kami. Maka kami berkata (kepada Nabi saw.), “Haruskah kami mengibiri diri kami?” Nabi saw. melarang kami melakukan (pengibirian) itu dan mengizinkan kami menikahi seorang perempuan (secara temporer) bahkan pun dengan hanya memberinya sehelai pakaian (sebagai mahar). Kemudian Nabi saw. membacakan ayat berikut: “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah (kalian) haramkan tayyibah (yang baik-baik) yang dihalalkan Allah kepadamu (QS. al-Mā`idah 5: 87).”

Konteks hadis tersebut jelas pada saat perang. Padahal Ibn Kathīr (705-774 H) dalam Tafsīr al-Qur`ān al-’Adzīm menukil beberapa riwayat asbāb al-nuzūl ayat ini yang seluruhnya seputar meninggalkan kenikmatan duniawi yang berupa makanan, minuman, pakaian, dan kebutuhan seksual untuk fokus beribadah kepada Allah , dan tidak ada kaitannya dengan perang. Bisa jadi hadis ini merupakan salah satu penafsiran kontekstual Rasulullah saw. atas ayat 87 surat al-Mā`idah guna memecahkan persoalan pengibirian dan pernikahan pada saat perang. Asumsi ini berdasarkan pada penempatan al-Bukhārī (194-256 H) terhadap hadis ini pada kitāb al-tafsīr dalam Sahīh-nya.

Bila hadis tersebut disepakati sebagai penafsiran kontekstual Rasulullah saw., maka ada beberapa catatan penting yang perlu diberi perhatian lebih. Pertama, berdasarkan hadis itu dan beberapa riwayat asbāb al-nuzūl yang dinukil oleh Ibn Kathīr (705-774 H) substansi penafsiran kontekstual Rasulullah saw. masih berkaitan dengan substansi asbāb al-nuzūl yaitu kebutuhan seksual yang halal dan tidak mengganggu ibadah yang berupa jihad. Kedua, Rasulullah saw. memperhatikan kondisi psiko-sosiologis sebagian umatnya dalam menafsirkan ayat al-Qur`an. Ketiga, dua catatan sebelumnya merupakan bukti bahwa penafsiran kontekstual sudah ada sejak masa Rasulullah saw. disamping perbedaan sikap beliau dalam memberikan keputusan terhadap sebuah persoalan dengan dua pemecahan yang menunjukkan fleksibilitas syariah Islam.

Setelah Rasulullah saw. wafat, Abū Bakr al-Siddīq sebagai penggantinya juga menerapkan penafsiran kontekstual terhadap ayat 60 surat al-Tawbah, yaitu tentang pembagian zakat kepada para mu`allaf yang dibujuk hatinya (al-mu`allafah qulūbuhum). Pada zaman Rasulullah saw. mereka masih menerima zakat, tetapi Abū Bakr al-Siddīq enggan memberi mereka zakat. Padahal ayat 60 surat al-Tawbah secara jelas menyebut mereka sebagai salah satu dari delapan golongan penerima zakat. Ia enggan memberi zakat kepada Abū Sufyān, ‘Uyaynah, al-Aqra’, dan ‘Abbās ibn Murdash. ‘Umar ibn al-Khattāb juga demikian. Ia berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Rasulullah saw. memberi kalian (zakat) agar kalian senang terhadap Islam. Adapun sekarang Allah telah menjadikan agama-Nya agung. Kalian tetap memeluk Islam atau bila tidak, maka tidak ada penghalang apa pun antara kami dan kalian kecuali pedang.” Para sarjana fikih madhhab Hanafi memberikan argumentasi lebih gamblang. Menurut mereka, jatah zakat mereka tidak berlaku lagi setelah Rasulullah saw. wafat yang salah satunya karena ‘illat hukumnya sudah tiada, yaitu memuliakan agama dan kebutuhan kepada mereka pada masa awal Islam ketika kondisi umat Islam lemah. Ketika Islam telah mulia, maka kebutuhan itu pun tidak ada lagi.

Selain kasus di atas, ‘Umar ibn al-Khattāb membuat beberapa keputusan yang secara lahir tampak bertentangan dengan al-Qur`an dan sunnah. Ia menangguhkan hukuman potong tangan bagi pencuri selama masa kelaparan; dia juga memberlakukan lagi talak tiga (dengan pertimbangan karena disalahgunakan oleh orang-orang Arab setelah penaklukan Syiria, Mesir, dan Persia); dia menghentikan penjualan budak perempuan (ibunya anak-anak, umm al-walad); dia tidak mendistribusikan tanah taklukaan kepada umat Islam (meskipun al-Qur`an dan sunnah mengizinkannya).

Secara lahiriah, beberapa keputusan ‘Umar ibn al-Khattāb tersebut bertentangan dengan al-Qur`an. Penangguhan hukum tangan bagi pencuri, misalnya, bertentangan dengan ayat 38 surat al-Mā`idah yang dengan jelas memerintahkan sanksi hukum potong tangan bagi pencuri. Selain itu, sebagaimana dinukil oleh al-Tabarī (224-310 H), ia pernah berkata, “Perlakukanlah para pencuri dengan tegas; potonglah tangan demi tangan dan kaki demi kaki.” Pernyataannya ini kontras dengan sikapnya dalam menangani pencuri pada masa paceklik tersebut. Faktor kondisi psiko-sosiologis masyrakat dan kemaslahatan saat itu yang mendorongnya bersikap demikian. Ia tidak berpatokan pada makna lahir ayat, tetapi lebih mengutamakan kemaslahatan sehingga ia perlu mengkontekstualisasikan kandungan ayat tersebut.

Sikap ‘Umar ibn al-Khattāb di atas selaras dengan pendapat Najm al-Dīn al-Tūfī (657-716 H), seorang sarjana fikih dari madhhab Hanbali, dalam Risālah fī Ri’āyah al-Maslahah bahwa jika teks (nas) dan konsensus (ijmā’) bertentangan dengan kemaslahatan, maka wajib mengutamakan kemaslahatan daripada teks dan konsensus dengan cara takhsīs dan bayān terhadap keduanya, bukan dengan cara mereka-reka dan membatalkan keduanya sebagaimana pengutamaan sunnah atas al-Qur`an dengan cara bayān. Oleh sebab itu, sikap ‘Umar ibn al-Khattāb tersebut bisa dikategorikan sebagai penafsiran kontekstualnya terhadap al-Qur`an. Sebab mustahil tokoh Islam sekaliber ‘Umar ibn al-Khattāb tidak mengetahui adanya perintah potong tangan bagi pencuri. Dengan kata lain, tindakannya yang lebih mengutamakan kemaslahatan daripada teks menunjukkan adanya keterlibatannya dalam aktivitas penafsiran.

Pemaparan bukti-bukti penafsiran kontekstual para tokoh awal Islam di atas kurang sempurna bila belum dilengkapi dengan pemaparan penafsiran kontekstual para sarjana tafsir generasi setelah mereka. Dalam hal ini, penafsiran kontekstual al-Tabarī (224-310 H) dan Muhammad Rashīd Ridā (1865-1935 M) juga perlu dielaborasi. Tokoh pertama dikenal sebagai sarjana tafsir ulung klasik yang karya tafsirnya Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta`wīl Āyi al-Qur`ān diakui secara luas sebagai induk dan rujukan utama tafsīr bi al-ma`thūr dan mewakili tafsir-tafsir klasik. Sementara itu, tokoh kedua dikenal sebagai sarjana tafsir modern-kontemporer yang berpengaruh besar dalam pemikiran Islam dewasa ini dan karya tafsirnya Tafsīr al-Qur`ān al-Hakīm atau Tafsīr al-Manār mendapatkan apresiasi luar biasa sehingga cukup mewakili tafsir-tafsir modern-kontemporer.

Al-Tabarī (224-310 H) mempunyai penafsiran kontekstual seperti dalam penafsirannya terhadap ayat 26 surat al-Nūr tentang makna al-khabīthāt dan al-tayyibāt. Sebelum menafsirkannya, ia mengutarakan dua penafsiran para sarjana Muslim yang berbeda tentang makna dua kata ini. Penafsiran pertama, perkataan-perkataan jelek adalah milik kaum laki-laki jelek dan perkataan-perkataan baik adalah milik orang yang baik. Ini adalah penafsiran Ibn ‘Abbās, Mujāhid, al-Dahhāk, Sa’īd ibn Jubayr, Qatādah, dan ‘Atā`. Penafsiran kedua, para wanita jelek adalah milik para laki-laki jelek dan para wanita baik adalah milik para laki-laki yang baik. Ini adalah penafsiran Ibn Zayd. Al-Tabarī (224-310 H) memilih pendapat pertama dengan argumentasi bahwa ayat-ayat sebelumnya mencela kaum munafik yang berbicara kotor dan menuduh ‘Ā`ishah, dan ayat ini sebagai penutup tentang orang-orang jelek yang berbicara kotor itu. Argumentasinya menunjukkan ia memperhatikan sabab al-nuzūl ayat ini dan hubungannya dengan ayat-ayat sebelumnya. Dengan kata lain, ia menafsirkannya sesuai konteks turunnya ayat tersebut.

Muhammad Rashīd Ridā (1865-1935 M) mempunyai penafsiran kontekstual menarik tentang konsep Ahli Kitab sebagaimana termaktub dalam ayat 5 surat al-Mā`idah. Ia berpendapat bahwa al-Qur`an menyebut para penganut agama-agama terdahulu, kaum Sabi’in dan Majusi, dan tidak menyebut kaum Brahma (Hindu), Budha, dan para pengikut Konfusius karena kaum Sabi’in dan Majusi dikenal oleh bangsa Arab yang menjadi sasaran awal al-Qur`an, karena kaum Sabi’in dan Majusi itu berada berdekatan dengan mereka di Irak dan Bahrain. Tujuan ayat suci telah tercapai dengan menyebutkan agama-agama yang dikenal (oleh bangsa Arab), sehingga tidak perlu membuat keterangan yang terasa asing dengan menyebut golongan yang tidak dikenal oleh orang yang menjadi alamat pembicaraan itu di masa turunnya al-Qur`an, berupa penganut agama-agama yang lain. Setelah itu tidak diragukan lagi bagi mereka (orang Arab) yang menjadi alamat pembicaraan (wahyu) itu bahwa Allah juga akan membuat keputusan perkara antara kaum Brahma, Budha, dan lain-lain.

Statemen Muhammad Rashīd Ridā (1865-1935 M) ini merupakan penafsiran kontekstualnya terhadap konsep Ahli Kitab yang selama ini mayoritas sarjana Sunni membatasinya hanya pada Yahudi dan Kristen. Menurutnya, konsep Ahli Kitab juga mencakup Hindu, Budha, dan para pengikut Konfusius karena pada saat turunnya al-Qur`an orang Arab belum mengenal agama-agama tersebut sehingga tidak perlu menyebutnya. Secara tidak langsung, ia mengakui adanya sisi-sisi lokalitas-temporal al-Qur`an yang memerlukan pemahaman dan wawasan mendalam untuk menafsirkannya seperti konsep Ahli Kitab, sehingga seorang penafsir tidak terjebak dalam sisi-sisi lokalitas-temporalnya dan berusaha mengungkapkan maksud kandungan internal dan eksternalnya sesuai dengan konteks di mana ia diturunkan dan ditafsirkan guna merespons tuntutan kehidupan aktual manusia.

C. Metode dan Aplikasi Tafsir Kontekstual

Sebagaimana teori-teori fikih dan tafsir yang diformulasikan dengan cara menelaah karya-karya fikih dan tafsir yang ada, maka dari beberap contoh penafsiran kontekstual di atas, metode dan aplikasi tafsir kontekstual juga bisa disimpulkan. Sebenarnya sebagian metode dan aplikasinya sudah disinggung pada pemabahasan karakteristik tafsir kontekstual di atas, tetapi guna memperoleh penjelasan lebih gamblang, maka metode dan aplikasi itu perlu dirinci satu persatu sesuai dengan urutannya sebagai berikut:

1. Menguasai dengan baik sejarah manusia terutama sejarah orang-orang Arab pra-Islam, baik secara bahasa, sosial, politik, dan ekonomi sebagai modal awal proses penafsiran kontekstual. Sebab selain al-Qur`an tidak diturunkan dalam ruang hampa, di dalamnya juga terdapat banyak informasi tentang mereka;

2. Menguasai secara menyeluruh seluk-beluk orang-orang Arab dan sekitarnya sebagai sasaran utama turunnya al-Qur`an dari awal turunnya ayat pertama hingga ayat terakhir, bahkan hingga Rasulullah saw. wafat. Sebab tidak semua ayat al-Qur`an memiliki sabab al-nuzūl sehingga bila hanya mengandalkan asbāb al-nuzūl, maka penafsiran akan kurang sempurna. Oleh karenanya, penguasaan terhadap seluk-beluk orang-orang Arab dan sekitarnya sangat mendesak yang sangat diharapkan bisa membantu proses penafsiran kontekstual;

3. Menyusun ayat-ayat al-Qur`an sesuai dengan kronologi turunnya, memperhatikan korelasi sawābiq dan lawāhiq ayat, mencermati struktur lingustik ayat dan perkembangan penggunaannya dari masa ke masa, dan berusaha menggali kandungan inter-teks dan extra-teks secara komprehensif;

4. Mencermati penafsiran para tokoh besar awal Islam secara seksama dan konteks sosio-historinya, terutama yang secara lahir bertentangan dengan al-Qur`an, tetapi bila diperhatikan ternyata sesuai dengan tuntutan sosial yang ada pada waktu itu dan tetap berada dalam spirit al-Qur`an;

5. Mencermati semua karya-karya tafsir yang ada dan memperhatikan konteks sosio-historis para penafsirnya. Sebab bagaimanapun juga, para penafsir mempunyai sisi-sisi kehidupan yang berbeda satu sama lain dan turut memengaruhi penafsirannya;

6. Menguasai seluk-beluk kehidupan manusia di mana al-Qur`an hendak ditafsirkan secara kontekstual dan perbedaan serta persamaannya dengan masa-masa sebelumnya, terutama pada masa awal Islam.

7. Mengkombinasikan semua enam poin di atas dalam satu kesatuan utuh pada saat proses penafsiran dan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar al-Qur`an.

D. Urgensi Tafsir Kontekstual

Terlepas dari prinsip-prinsip dasar al-Qur`an yang berupa keesaan Tuhan, keadilan, rahmat, kesejahteraan, dan kebajikan yang masih debateable, tafsir kontekstual sejatinya ingin meneguhkan prinsip-prinsip itu dalam kehidupan riil manusia. Kehidupan manusia yang terus-menerus berubah menuntut perubahan penafsiran yang sesuai dengannya. Ini bukan berarti menundukkan sakralitas al-Qur`an di bawah realitas kehidupan, tetapi merupakan usaha mendinamiskan antara keduanya sehingga tidak saling bertentangan. Mengatasi pertentangan antara teks-teks agama dan realitas sosial memang bukan perkara mudah. Perlu usaha sungguh-sungguh dan aneka ragam pendekatan.

Di antara usaha dan aneka ragam pendekatan tersebut adalah penafsiran kontekstual terhadap teks-teks suci Islam, terutama al-Qur`an. Penafsiran kontekstual sangat urgen dilakukan karena empat alasan utama sebagai berikut:

1. Perbedaan pola hidup setiap generasi umat Islam sepanjang sejarahnya. Pada gilirannya perbedaan ini menuntut perbedaan solusi. Perbedaan solusi salah satunya muncul dari perbedaan penafsiran terhadap al-Qur`an.

2. Al-Qur`an mengkleim dirinya sebagai kitab sempurna dan terakhir. Padahal sebagian ayatnya mengandung unsur-unsur lokalitas-temporal. Penafsiran tekstual terhadapnya bisa menjerumuskan seseorang pada unsur-unsur itu yang menggiringnya pada penafsiran yang salah. Penafsiran kontekstual bisa menyelamatkannya dari kesalahan penafsiran semacam itu.

3. Al-Qur`an tidak merinci segala persoalan, tetapi menyebutkan perkara-perkara umum yang memungkinkan untuk ditafsirkan dengan aneka ragam penafsiran, terutama penafsiran kontekstual.

4. Sebagai karya manusia, penafsiran para sarjana Muslim yang ada selama ini bukan sesuatu yang sudah final sehingga tidak memerlukan penafsiran lagi dan revisi terutama yang berhubungan dengan pemecahan persoalan sosial umat Islam. Mereka hidup tidak hidup pada masa yang sama. Penafsiran kontekstual bisa menyempurnakan kekurangan usaha mereka.

E. Kelemahan Tafsir Kontekstual

Usaha para sarjana Muslim klasik tidak bisa diaplikasikan seluruhnya dalam kehidupan manusia sepanjang masa, karena hasil usaha mereka tidak seluruhnya cocok dengan kehidupan manusia pada generasi setelah mereka. Meskipun demikian, sebagian usaha mereka tetap dibutuhkan terutama metode mereka dalam mengharmoniskan pertentangan antara teks suci Islam dengan realitas kehidupan yang seringkali terjadi.

Sebagian sarjana Muslim, misalnya, telah berusaha mengembangkan tafsir tematik (al-tafsīr al-mawdū’iy) guna memecahkan peliknya problem kehidupan manusia, tetapi usaha semacam ini kurang sempurna bila tidak memperhatikan aneka ragam aspek kehidupan manusia sebagai penerima dan pengamalnya. Oleh sebab itu, tafsir tematik perlu dikembangkan dan disandingkan dengan tafsir kontekstual guna memperoleh penafsiran yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka.

Penyandingan tafsir tematik dengan tafsir kontekstual bukan berarti tafsir kontekstual merupakan tafsir maha sempurna yang tidak memiliki kelemahan sedikit pun. Sebab bagaimana pun juga, tafsir tidak sesempurna al-Qur`an itu sendiri. Setiap metode dan corak penafsiran tentu tidak sempurna. Bahkan tafsīr bi al-ma`thūr yang diyakini sebagai metode tafsir paling utama sekalipun tetap tidak sempurna, apalagi metode dan corak tafsir yang lain. Khusus tafsir kontekstual, ketidaksempurnaannya sedikitnya terletak pada lima poin utama:

1. Fakta bahwa tidak semua ayat al-Qur`an mempunyai sabab al-nuzūl bahkan sebagian besar ayat tidak memilikinya. Padahal asbāb al-nuzūl merupakan tonggak utama tafsir kontekstual.

2. Rumitnya menguasai seluruh aspek kehidupan manusia sejak pra-Islam hingga sekarang. Padahal asbāb al-nuzūl yang sedikit bisa disempurnakan dengan penguasaan terhadap seluruh aspek kehidupan mereka ini.

3. Tafsir kontekstual tidak berlaku pada ayat-ayat al-Qur`an yang berbau akidah.

4. Tafsir kontekstual cenderung berlaku pada waktu dan masa tertentu, tidak berlaku secara universal dan sepanjang masa.

5. Perubahan kehidupan manusia yang serba cepat menuntut penafsiran kontekstual yang juga cepat. Padahal penafsiran yang tergesa-gesa sangat berpotensi untuk keliru.

Penutup

Kekeliruan dalam memahami teks-teks al-Qur`an sesungguhnya dapat dihindari hanya ketika orang melihatnya dalam konteksnya masing-masing, baik konteks linguistiknya, konteks ketika ayat diturunkan maupun konteks sosio-kultural yang melingkupinya. Inilah fungsi utama tafsir kontekstual. Oleh karenanya, jika seseorang ingin menafsirkan al-Qur`an secara kontekstual, maka jangan sampai apa yang ia lakukan justeru tidak menghasilkan seperti yang diinginkannya karena keterbatasan waktu dan pengetahuan dalam penelitiannya terhadap gejala sosio-kultural yang ada.

Gejala sosio-kultural yang ada tersebut merupakan pertimbangan utama dalam tafsir kontekstual. Inilah karakteristik utama yang membedakan tafsir kontekstual dengan tafsir-tafsir yang lain. Tafsir-tafsir ini cenderung mengabaikan setting sosio-kultural masyarakat seraya lebih mengagungkan makna lahir teks. Bila sikap ini berlebihan, maka tidak mustahil hasil penafsirannya regresif dan literal-verbal yang dapat memicu puritanisme, fanatisme, fundamentalisme, dan ekstremisme atas nama agama, bukan penafsiran kontekstual sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah saw., Abū Bakr al-Siddīq, dan ‘Umar ibn al-Khattāb.

Tiga tokoh utama Islam tersebut telah memberi contoh penafsiran kontekstual. Rasulullah saw. tidak hanya melihat makna lahir ayat, tetapi melihat sisi kemaslahatan umatnya. Abū Bakr al-Siddīq di satu sisi memang enggan menafsirkan al-Qur`an, tetapi di sisi lain ia bahkan melampaui makna lahir ayat tentang bagian zakat al-mu`allafah qulūbuhum. ‘Umar ibn al-Khattāb jauh lebih ekstrem lagi. Ia membuat beberapa keputusan yang secara lahir bertentangan dengan al-Qur`an dan sunnah. Mereka bertiga membuat keputusan yang berbeda-beda sesuai dengan kebijakan masing-masing, padahal bentangan masa antara mereka sangat dekat. Lalu bagaimana dengan generasi-generasi setelah mereka yang bentangan masanya sangat jauh? Oleh sebab itu, penafsiran kontekstual mutlak dilakukan. []

Daftar Pustaka

Abū Ja’far Muhammad ibn Jarīr al-Tabarī. Tafsīr al-Tabarī Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta`wīl Āyi al-Qur`ān. Damaskus: Dār al-Qalam, 1997.

Al-Imām al-Tūfy. Risālah fī Ri’āyah al-Maslahah. t.k.: al-Dār al-Misrīyah al-Lubnānīyah, 1993.

Asghar Ali Engineer. Pembebasan Perempuan. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.

Budhy Munawar-Rachman. Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), 2010.

Ibn Kathīr. Tafsīr al-Qur`ān al-‘Adzīm. Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 2007.

Imam az-Zabîdî. Ringkasan Shahîh al-Bukhârî. Bandung: Mizan, 2002.

Mun’im A. Sirry (ed.). Fikih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Jakarta: Yayasan Wakaf PARAMADINA, 2004.

Wahbah al-Zuhaylī. Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh. Damaskus: Dār al-Fikr, 1997.

0 Responses to “Tafsir Kontekstual”



  1. Leave a Comment

Leave a comment




Blog Stats

  • 157,541 hits